Laman

Selasa, 04 September 2012

SKRIPSI




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Secara global, diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2010, sebanyak 8,8 juta orang jatuh sakit dengan TB dan 1,4 juta meninggal akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang (Antara, 2011, ¶ 2, http://www.foxnews.com, diperoleh tanggal 21 Maret 2012)
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal jumlah penderita tuberkulosis. Baru pada tahun 2009 turun ke peringkat ke-5 dan masuk dalam milestone atau pencapaian kinerja satu tahun Kementerian Kesehatan. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)  pada tahun 2007, jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima (5) dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus TB tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Pada Global Report WHO 2010 didapat data TB Indonesia, Total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TB baru BTA positif, 108.616 kasus TB BTA negatif, 11.215 kasus TB Extra Paru, 3.709 kasus TB Kambuh, dan 1.978 kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps) (PPTI, 2009, ¶ 1, http://www.info/index.php/com. diperoleh tanggal 21 Februari 2012).
Dibandingkan dengan Provinsi lainnya di Indonesia, Jawa Barat menduduki rangking pertama  jumlah terbesar penderita TB. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tahun 2010 menargetkan dapat menanggulangi penyakit TB dan menempatkan penyakit tersebut sebagai program unggulan Dinas Kesehatan Jawa Barat. Data di Dinas Kesehatan Jawa Barat, tahun 2007 tercatat 30.000 orang penderita TB, yang sudah datang berobat ke Rumah Sakit dan Puskesmas. Hingga tahun 2008 terus meningkat yakni mencapai 35.000 orang. Sementara target sasaran yang ingin dicapai oleh Dinkes Jabar sekitar 43.735 orang. (Pelita, 2012 ¶ 1, http://www.pelita.or.id, diperoleh tanggal 21 Februari 2012).
Kabupaten Cianjur tahun 2011 dengan jumlah penduduk 2.171.281 jiwa, ditemukan kasus TB BTA positif baru sebanyak 1.879 orang, artinya CNR (Case Notification Rate) ditemukan 87 kasus baru TB BTA positif per 100.000 penduduk. Menurut data Dinas Kesehatan Jabar tahun 2011, cakupan penemuan kasus TB persentase CDR (Case Detection Rate) dari 26 kabupaten kota, di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur, menduduki urutan ke-5, dengan CDR sebanyak 82,14%. Berikut urutan kasus TB (CDR%) Kabupaten Kota di Jawa Barat; Majalengka 92%, Cirebon 91%, Sukabumi 90,69%, Bandung 83,32%, Cianjur 82,14% (Dinkes Jabar, 2011, ¶ 1, http://www.diskes.jabarprov.go.id, diperoleh tanggal 21 Maret 2012).
Kasus TB BTA positif yang di obati di wilayah kerja Puskesmas DTP Mande tahun 2009, terdapat 32 kasus, 19 orang sembuh, 1 orang meninggal. Tahun 2010 terdapat 39 kasus, 23 orang sembuh dan 1 orang meninggal. Tahun 2011 terdapat 35 kasus baru, TB BTA (+) ditambah 12 kasus lama (relaps) sehingga menjadi 47 kasus, hanya 25 orang yang sembuh (53,19%), 21 orang belum sembuh (44,68%) Do 5 orang (11%),  dan 1 orang meninggal (2,13%). Priode bulan Januari sampai Maret 2012 terdapat 31 kasus (Puskesmas DTP Mande, 2012).
Dari data selama 3 tahun lebih penderita TB BTA positif di wilayah kerja Puskesmas DTP Mande, ada kecendrungan menunjukan peningkatan kasus. Angka kesembuhannya sangat rendah yaitu hanya 53% pada tahun 2011, jauh dari target Nasional yaitu 85%. Setiap tahun selalu terjadi kematian yang diakibatkan oleh TB. Kasus relaps sebanyak 12 orang pada tahun 2011 dan angka DO sebanyak 11%. (Puskesmas DTP Mande, 2009 - 2011).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah sosial ekonomi rendah sehingga mengakibatkan kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (usia 15 - 50 tahun), diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan pertahun. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 sampai 30%.  Selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis juga memberikan dampak buruk secara sosial yaitu dikucilkan oleh masyarakat luas (Depkes RI 2008).
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi terhadap cara berfikir seseorang diantaranya, mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan, sehingga dengan pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya dan akan berpengaruh kepada Pendapatannya (Depkes RI 2008).
Faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit TB diantaranya umur, jenis kelamin, pendidikan, Pendapatan (sosial ekonomi), status gizi, kebiasaan merokok, pekerjaan, kondisi rumah, pencahayaan, ventilasi, kelembaban udara, kepadatan hunian kamar tidur dan prilaku (Depkes RI 2008)
Risiko utama lainya yang menyebabkan peningkatan kasus TB ialah kebiasaan merokok. Sebuah penelitian baru yang dilakukan oleh Glantz pada tahun 2010 dari Universitas California di San Fransisco menyimpulkan bahwa merokok menimbulkan masalah kesehatan publik dan merupakan faktor penting yang menghambat upaya-upaya pemberantasan TB. Merokok akan mengurangi kekebalan tubuh dan membuat orang yang terkena infeksi paru-paru akut bisa terkena bakteri TB dan mungkin meninggal karenanya. Beliaupun mengatakan, “Perokok primer (aktif) dan sekunder (pasif) meningkatkan jumlah orang yang akan tertular TB hingga sekitar 7 %.  Ini meningkatkan jumlah orang  yang diperkirakan meninggal akibat TB antara tahun 2011 dan 2050 hingga sekitar 26 %” (Sinha, 2011, ¶ 6, http://www.voanews.com, diperoleh tanggal 20 februari 2012).
Banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, penderita dengan basil tahan asam (BTA) positif beresiko menularkan penyakit kepada 10 - 15 orang pertahun. Insiden kasus TB paru BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Antara, 2011, ¶ 6, http://translate.googleusercontent.com, diperoleh tanggal 21 Maret 2012)
Upaya penanggulangan TB di Indonesia dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy) telah ditetapkan tujuan program pemberantasan yang meliputi tujuan jangka panjang yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian dan penularan kasus TB dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tujuan jangka pendek yaitu menyembuhkan minimal 85% penderita baru BTA positif yang ditemukan, tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap Tingkat Nasional minimal 70%, mencegah timbulnya resistensi obat TB di masyarakat (Depkes RI, 2008).
Dengan jumlah kasus terbanyak (70%) penderita  berdomisili di desa Jamali wilayah kerja Puskesmas DTP Mande. Hal ini membutuhkan penanganan serius, agar tidak terjadi lonjakan kasus dan peningkatan angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit TB di masa yang akan datang (Puskesmas DTP Mande, 2009 - 2011). Sebagai mana terlihat pada tabel 1.1, halaman 6 berikut ini.

Tabel 1.1. Jumlah Pasien TB BTA (+) di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Mande Tahun 2009 – Sampai Dengan Mei 2012.

           Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas DTP Mande. (2009 - 2012)
Berdasarkan tabel 1.1 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita TB paru BTA positif berdomisili di desa Jamali wilayah kerja Puskesmas DTP Mande, dan selalu ada peningkatan kasus dari tahun ke tahunnya (Register Puskesmas DTP Mande, 2012).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari 10 responden paiesn TB yang berobat ke Puskesmas DTP Mande, didapat 4 penderita TB berpendidikan tidak tamat SD, 6 penderita tamat SD, dan 8 responden mengatakan biasa merokok. Dari  ke 10 penderita, semua mengatakan Pendapatannya dibawah UMK Kabupaten Cianjur tahun 2011 yang besarnya Rp. 810.500,- (Cikarang, 2012, ¶ 3, http://lingkarcikarang.com, diperoleh tanggal 19 Maret 2012).
Walaupun banyak faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB, akan tetapi dalam hal ini, peneliti hanya akan meneliti tiga fator risiko yaitu, faktor sosial ekonomi (pendapatan), pendidikan dan kebiasaan merokok, karena menurut peneliti dari ketiga factor tersebut, mencakup hampir keseluruhan faktor-faktor yang lainnya. Dari faktor sosial ekonomi akan meliputi faktor yang lainya seperti; status gizi, kondisi rumah, termasuk pencahayaan, ventilasi, kelembabab udara, kepadatan hunian dan perilaku (PPTI, 2009, ¶ 1, http://www.info/index.php/com diperoleh tanggal 21 Februari 2012).
Faktor pendidikan akan besar sekali pengaruhnya bagi faktor-faktor yang lainya, karena pendidikan yang tinggi akan membuat seseorang menjadi cerdas berfikir disegala bidang termasuk bidang kesehatan. Seseorang yang bisa membaca akan selalu mencari informasi yang terbaru dan dibutuhkan termasuk informasi kesehatan, khususnya dalam hal ini tentang penyakit TB paru (Kleis, 1974, ¶ 3,  http://nie07independent.com, diperoleh tanggal 17 Maret 2012).
 Sedangkan Kebiasaan merokok akan menimbulkan masalah kesehatan publik dan merupakan faktor penting yang menghambat upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis paru (PPTI, 2009, ¶ 2, http://www.info/index.php/com diperoleh tanggal 21 Februari 2012).
Dari berbagai sumber yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti ingin membuktikan tentang hubungan antara sosial ekonomi, pendidikan dan kebiasaan merokok pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut, “Apakah ada hubungan antara sosial ekonomi (pendapatan), pendidikan dan kebiasaan merokok pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur tahun 2012?”.

C.    Tujuan
1.    Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sosial ekonomi, pendidikan dan kebiasaan merokok pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui gambaran tingkat sosial ekonomi, pasien Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
b.    Untuk mengetahui gambaran tingkat pendidikan pasien Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
c.    Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pasien Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
d.    Diketahuinya hubungan antara sosial ekonomi pasien terhadap kejadian Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
e.    Diketahuinya hubungan antara pendidikan pasien terhadap kejadian Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
f.     Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
g.    Untuk mengetahui faktor risiko tingkat sosial ekonomi pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
h.    Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pendidikan pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.
i.      Untuk mengetahui faktor risiko kebiasaan merokok pasien terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas DTP Mande Cianjur.

D.    Manfaat Penelitian
1.    Manfaat teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit TB paru dan dapat dijadikan sumber dalam Mata Ajar KMB dan  Komunitas.
2.    Manfaat Praktis
a.    Bagi Puskesmas: Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan yang bermanfaat bagi Puskesmas Mande Kabupaten Cianjur dalam penanggulangan penyakit TB di wilayah kerjanya.
b.    Bagi pasien TB: Untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit TB, sehingga dapat melaksanakan pengobatan dan pencegahan penularan penyakit dengan baik.